Tuesday 24 July 2012

Menjadi yang TERBAIK.....


"... وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ"]رواه البخاري ومسلم[
”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Riwayat al-Bukhari no. 5673, 5784 dan 6111 dan Muslim kitab al-Iman bab al-Hats ‘ala Ikraamil Jaar wadh Dhaif no. 182) dan dalam riwayat Imam Muslim:

Suasana menjelang waktu berbuka puasa. Perjumpaan ku dengan makcik, jiran kami.


"Tak payahlah, Ita....Makcik kan masih kerje..."
Ucap makcik.

Aku memaksanya agar ia mau menerima sedikit yang kami beri. Makcik tersebut sudah kuanggap sebagai orangtua kami, yaa...bahkan semua makcik-makcik yang ada di lingkungan kami tinggal adalah orangtua buat kami. Kami adalah keluarga perantau, kami hidup berjauhan dengan kedua orangtua. Kami berharap, dengan menghormati para warga emas (orang-orang yang lanjut usia), maka orangtua kami di tanah air pun akan dihormati dan dimudahkan segala urusannya disana, aamiin.

*****

Sejak perceraiannya kurang lebih 6 tahun yang lalu. Beliau tinggal sendirian. Kadang ada anaknya yang menginap dirumah 'sunyi' nya. Aku jarang sekali berkomunikasi dengan beliau. Wajar saja, karena beliau pun jarang ada di rumahnya. Pergi pagi pulang malam tuk bekerja. Memperhatikan ritme kehidupan beliau aku menjadi empati. Karena ku pun sama seperti beliau, aku adalah seorang istri juga seorang ibu.

"Rumah tangga acik sudah gagal, Ita..."
begitulah penuturannya yang lalu.

Aku jadi menerima ketika beliau akrab memanggil namaku "Ita". Padahal sudah seringkali aku betulkan, bahwa namaku Dini, Ita adalah nama kakak iparku yang dulu pernah juga menjadi jiran beliau. Sudahlah...kini aku pun menikmati panggilan 'khas' tersebut. :)

Ada satu pelajaran hidup yang paling besar dari beliau. Rumah tangga yang harmonis. Pasangan Ideal. Begitulah para jiran dan beberapa orang akak (kenalanku) jika bercerita tentang masa lalu makcik tersebut dengan mantan suaminya. Sungguh menyedihkan, bukan?

Aku tergugu. Setiap kali ada kesempatan untuk berjumpa dengannya, aku lekas ucapkan salam. Menyapa tentang harinya. Menanyakan singkat tentang kabar beliau. Aku tak mempedulikan omongan orang yang agak 'miring' tentang beliau. Bagiku ia adalah orangtua yang harus aku hormati. Layaknya seorang ibu. Aku berharap mampu mengisi ruang yang kosong  di hatinya. Meski sekedar ucapan salam, sapa, bakan senyuman sederhana yang kupunya sekalipun...

Terkadang, aku pun menjadi risau. Perjalanan Rumah Tangga, sebegitu beratkah ujiannya? Sedang pasangan yang saling welas asih, bekerjasama, dan terlihat harmonis, akhirnya hancur. Aku semakin merasa, ketergantungan kepada Allah, tempat  segala sandaran hati, tempatku berkeluh  kesah, tempat meminta kekuatan dari segala terpaan badai jua bencana.....

Yaa, hanya Allah-ku yang mampu menguatkan kakiku tuk terus berpijak. Melangkah hingga waktu yang telah Allah tentukan.

"Laa haula wala quwwata illa billah...."


" وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ".
” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba beriman sebelum ia mencintai untuk tetangganya apa-apa yang dicintai untuk dirinya sendiri." (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu) 
Dan orang yang berbuat baik kepada tetangganya, ia adalah sebaik-baik manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.


Bantu kami untuk wujudkan kasih sayang pada beliau ya Allah, bantuk kami tuk menjadi jiran yang terbaik untuk beliau,  dan bantu aku tuk melaksanakan amanah-MU : sebagai istri juga ibu yang terbaik pada pandangan-MU. "Sungguh Kasih Sayang-Mu lah yang sangat kami harapkan, Robbiy..."



~Dini Rahmajanti (Dee)~
Semenanjung Malaysia.
Menjelang SAHUR hari ke-5 Ramadhan.


No comments:

Post a Comment